Senin, 18 April 2016

Cerita Bersambung Wild Love Episode 7

Cerita Bersambung Wild Love Episode 7 - sexiestcollection.blogspot.com

Awal cerita dari rasa penasaranku


Bumi berputar pada porosnya, membuat belahan bumi yang sebelumnya tanpa cahaya matahari kini mulai tersentuh oleh sinarnya. Seharusnya cahhaya itu masuk melalui lubang –lubang ventilasi kamar ini, apa daya cahaya matahari. Rumah ini menghadap ke arah utara, sedangkan kamar dimana aku terlelap berada di bagian yang jauh dari terbitnya sang raja siang.
Rumah yang aku tinggali bernuansakan rumah moderen tapi tak meninggalkan suasana adat daerahku, menghadap ke arah utara karena memang sesuai dengan kebiasaan leluhur kami rumah di usahakan untuk tidak menghadap ke arah barat ataupun timur. Supaya tidak kepanasan kata orang tua jaman dahulu.

Rumah ini terdiri dari garasi yang sangat luas, jika membuka pintu gerbang rumah langsung berhadapan dengan halaman garasi dan kemudian garasi rumah. Bagian kanan halaman garasi ada sebuah taman yang lumayan luas dengan jalan setapak menuju pintu masuk rumah. Ketika masuk kerumah akan didapatkan sebuah ang tamu berbentuk persegi panjang yang luas membujur dari timur ke barat (kiri ke kanan) dengan meja kursi di bagian kanan kirinya beserta hiasan dinding khas peninggalan leluhur kami dan juga pernak-pernniknya. Ditengah-tengahnya agak ke selatan sedikit ada sebuah jalan yang lumayan panjang berbentuk lorong. Dikiri lorong ada kamar Romo dan Ibuku yang tergolong luas dan memanjang dari utara ke selatan. Setelah kamar Romo dan Ibu adan sebuah pintu yang menghubungkan rumah ini dengan garasi disampin. Tepat disebelah pintu ada ruang keluarga untuk menonton TV dibelakang ruang ini ada tangga menuju kamarku yang kemudian disamping tangga ada kamar mandi. Di kanan lorong ada dua bawah kamar tamu, setelahnya dapur moderen yang digabung dengan ruang makan. Disamping ruang makan tepatnya di depan kamar mandi adalah tempat penyimpanan barang-barang berharga, sebuah ruang dengan banyak almari penyimpanan. Diantara ruang penyimpanan dan kamar mandi terdapat sebuah pintu keluar menuju pekarangan rumah dengan tembok setinggi 5 meter berhiaskan kolam ikan dan taman dengan pohon. Jemuran? Hanya akan dilihat ketika Ibu mulai menjemur saja, jika tidak maka akan dilipat dan disandarkan di dekat kolam ikan. Kembali pada diriku yang terlelap tidur semalam karena penyatuan tubuh dengan Ibuku.

“hmmmm...... hoaaaam...... uftttt......” aku mulai membuka mataku, aku merasa kelopak mata ini memiliki berat 1 ton. Terasa ada sesuatu nikmat yang menjalar dari dedek Arya, kubuka mata perlahan. Kulihat seoranng wanita cantik, berkulit putih dengan jarit yang dibalutkan ditubuhnya hanya menutupi sebagian susunya hingga sebagian pahanya. Susunya itu lho seakan-akan ditekan dan bagian atasnya seakan-akan mau melompat keluar. Rambutnya digelung kebelakang dengan senyum tergambar di bibirnya. Duduk bersimpuh dekat dengan pinggangku sambil membasuh dedek Arya lembut dengan handuk kecil yang sudah dibasahi sebelumnya. Beruntungnya dedek Arya ini, sudah mengalami MOREC (Morning Erection) di mandiin pula.

“Pagi nak......” sapa ibuku

Aku bangkit dan duduk kemudian aku peluk wanita ini. Kudaratkan ciumanku ke arah ke pipi kirinya dan merambat menuju ke bibirnya. Dan ....

“Eits.... Bau.... Mandi dulu gih...” Ibuku menghindar bibirnya dari bibirku. Aku yang gagal menciumnya, meletakkan kepalaku dipundak kirinya sambil tangan kiriku mengelus-elus bagian atas susu Ibuku yang ingin melompat.

“Tidak apa-apa...paling nanti juga mau” jawabku dengan santai. Ibu kemudian menghentikan elusan pada dedek arya.

“Pokoknya mandi dulu” hardik Ibuku, sambil membetet hidungku.

“Tapi aku masih pengen pelukan bu....” jawabku manja dengan suara cempreng akibat hidungku dibetet Ibu.

“Apa kamu ndak kuliah nak?” tanya Ibu mengingatkan aku.

“Pengantin baru kok kuliah to bu bu.... besok saja bu, pengen sama Ibu dulu hari ini” jawabku melas agar tetap bisa bersama Ibu.

yo wes rak popo, kanggo dino iki wae lho (ya sudah tidak apa-apa buat hari ini saja lho)” perintah ibuku. Ku jawab dengan senyum cengengesan. Aku kemudian bangkit, kulepaskan pelukanku dan kuminta Ibu duduk di ujung tempat tidur. Kini Ibu duduk bersimpuh dan bersandar di ujung ranjang. Aku kemudian merebahkan tubuhku dan kepalaku aku letakkan di susu Ibuku.

“Bu besar banget” sambil aku mengelus-elus susunya.

“Kamu suka?” tanya Ibuku

“Iya bu... besar dan hmmmm....... ” jawabku memuji

“Hi hi hi... dulu ibu itu pernah beli BH tapi tidak muat, karena Ibumu itu malas akhirnya ya Ibu tidak beli lagi tetap bertahan dengan kutang (BH tradisional)” jelas Ibuku.

“Oooo... pantes masih bulat dan tidak melorot” jawabku

“Lho kamu kok tahu kalau kutang bisa membuat payudara tidak melorot?” tanya Ibuku heran

“He he he cuma tahu saja bu he he he” kilahku

“Pasti gara si net-net (baca Internet) itu ya?” tanya Ibuku melanjutkan

“Ya iya bu... lha wong dulu itu ada tugas disuruh nyari pakaian adat daerah, setelah dapat eh ada penjelasannya juga” jawabku cengengesan sambil menjilat-jilat permukaan susu Ibuku.

“Kamu itu hmmm..... hi hi hi ” senyum Ibuku nakal
Tiba-tiba aku teringat semua kejadian dari awal, banyak pertanyaan yang muncul di kepalaku ini. Banyak pertanyaan-pertanyaan yang hadir dan harus aku tanyakan kepada Ibu. Mau tidak mau harus aku tanyakan.

“Bu.... “

“Ada yang mau Arya tanyakan” ucapku

“Apa?” jawab Ibu
“Sebenarnya ada apa to Ibu sama Romo?” tanyaku tiba-tiba

Hening sesaat.... kuarahkan tatapanku ke wajah Ibuku. Ah betapa bodohnya aku ini, kenapa aku menanyakan hal ini kepada ibu, benar-benar merusak suasana. Tiba-tiba Ibu menghela nafas yang panjang dan memulai pembicaraan.

“Ibu akan cerita kepadamu, tentang semua dari awal... ” jelas ibu dan aku balas dengan anggukan kecil.

Ibu kemudian memulai cerita dari awal bagaimana Ibu bisa menikah deng Romo. Ibu bercerita mengenai masa mudanya, sahabat-sahabatnya dan juga keluarga besar Ibu yang berdarah ningrat. Dan semua itu dimulai dari ....

(Pada cerita ini, Aku adalah Diyah Ayu Pitaloka, karena cerita dibawah ini adalah cerita masa lalu Diyah Ayu Pitaloka)
Sejuk alam di kaki gunung yang menjulang tinggi di daerahku. Namaku Diyah Ayu Pitaloka, aku anak ke dua dari tiga bersaudara. Aku mempunyai seorang kakak bernama Andi Pitawarno Sucipto, dan seorang adik bernama Ratna Ayu Pitaloka. Ayahku bernama Warno Sucipto, seorang ningrat dengan darah Jerman mengalir ditubuhnya sedangkan Ibuku adalah orang jepang asli, beliau bernama Asasi Kutone, yang kemudian beralih nama menjadi Ayu Pitaloka. Semua anak dari Ayah dan Ibuku mempunyai nama Pita karena ini adalah permintaan Ibu yang sebenarnya ditolak oleh Kakekku tapi pada akhirnya kakekku menyetujuinya melihat begitu gigihnya Ayahku memaksa Kakek. Karena memang seharusnya yang tercantum di nama kami adalah nama dari Ayahku bukan Ibuku, sesuai dengan adat yang berlaku di daerah ini.

Aku dan kakakku mempunyai kesaamaan dengan ibu, mempunyai kemiripan seperti orang jepang sedangkan adikku Ratna lebih mirip Romo-ku yang terlihat ke-Jermanannya. Aku dan kakaku terpaut 4 tahun, dan dengan adikku hanya terpaut 2 tahun. Aku dibesarkan di keluarga yang sangat erat dengan kebudayaan didaerahku, dan harus selalu bisa menjaga tata krama di dalam maupun diluar rumah.

Ayahku merupakan orang yang sangat berpengaruh di daerahku tinggal. Beliau menjabat sebagai Kepala Daerah di Daerahku. Semua orang segan dan hormat terhadap Ayahku, ditambah lagi Ayah bukanlah orang yang sombong, beliau sesosok pemimpin yang rendah hati dan selalu bergaul dengan semua lapisan masyarakat. Ayah tidak pernah membeda-bedakan orang disekitarnya. Kembali lagi ke aku, Sekarang umurku 15 tahun sebentar lagi masuk 16 tahun, lebih tepatnya sekarang kelas 1 SMA. Aku bersekolah di sekolah negeri yang dekat dengan rumahku, sekolah ini aku pilih karena selain dekat dengan rumah di sekolah ini dikenal sebagai sekolah untuk rakyat. Ya, karena SMA-ku ini semua lapisan masyarakat bisa sekolah di tempat ini, dibandingkan dengan SMA-SMA yang lain yang selalu ada cap “Cuma buat orang kaya” dan aku paling tidak suka dengan perbedaan. Kakakku kuliah di perguruan tinggi negeri mengambil Jurusan Kedokteran sedangkan adikku masih kelas 3 SMP yang berdekatan dengan SMA-ku sama sepertiku Adikku memiliki alasan yang sama denganku ketika memilih SMP-nya. Di sekolah aku selalu menempatkan diriku sebagai wanita biasa, sekalipun aku berdarah ningrat ataupun dari keluarga kaya karena aku ingin berteman dengan semua anak di sekolah ini, entah itu kaya-miskin, hitam-putih, sama seperti Ayahku semua ingin aku jadikan teman begitupun Adikku di Sekolahnya.

Dengan cara bergaulku, aku memiliki banyak teman-teman yang sangat sayang kepadaku. Bahkan aku merasa aku memiliki keluarga yang sangat besar di Sekolah ini. Yang aku suka adalah mereka semua menganggapku sebagai orang biasa ketika berada di sekolah sehingga untuk bisa menyatu dengan mereka itu adalah hal yang sangat mudah. Di SMA-ku, Aku memiliki seorang sahabat yang sejak SMP bersamaku, bernama Karima aku memanggilnya Ima, dia orang yang supel dan enak di ajak curhat. Disisi lain Aku sangat akrab dengan semua teman-temanku bahkan kami selalu berbagi dengan apa yang dimiliki. Tapi kalau masalah cowok gandengannya dia jarang cerita ke aku. Cowok? bagaimana denganku? Aku belum berpikir untuk pacaran.

Waktu itu adalah waktu ketika aku pulang sekolah, aku mendapati di depan rumahku berjajar-jajar mobil. Heran aku, ada acara apa? Masih berbaju sekolah aku masuk kerumah dengan merundukan badan, kulihat kanan-kiriku banyak sekali tamu dan mereka tersenyum kepadaku. Ketika aku sampai di ruang tamu kulihat romo sedang bercengkrama dengan seorang laki-laki muda beserta perempuan dan laki-laki lain yang sebaya dengan orang tuaku, mungkin bapak Ibunya. Tampak Ayah dan Ibuku juga....

“Nduk, kemari” ucap Romoku, aku pun duduk diantara Ibu dan Ayahku.

“Perkenalkan ini namanya Mas Mahesa Wicaksono, dia melamarmu dan dia yang akan jadi suamimu” lanjut romoku. Aku kaget setengah mati, kulihat wajah Ayahku masih santai ketika mengucapkan kata-kata itu.

“Tapi Romo, Diyah-kan masih sekolah, masa harus nikah muda” balasku

“Ya ndak secepat itu nduk, maksudnyaaaa....nanti setelah kamu lulus baru kamu menikah” jelas Romoku

“Tapi aku masih ingin kuliah Romo” lanjutku

“Itu bisa di atur...” jawab Romoku tenang.

Aku masih tertegun, kaget dengan semua hal ini. Kulihat laki-laki itu tampak mencoba tersenyum manis kepadaku. Aku pun hanya tertunduk tak mau aku membalas senyumannya. Laki-laki itu, yang akhirnya aku tahu memiliki tinggi lebih pendek dari aku, sedangkan tinggiku di saat ini sudah 160 cm (ingat pada sambungan-sambungan sebelumnya, Arya hanya mengira-ira tinggi Ibunya). Umurnya 25 tahun, lebih tua 5 tahun dari kakakku. Kulitnya gelap menuju kehitam (NO SARA-just for imagination), wajahnya tidak terlalu ganteng, dibandingkan dengan Ayah, Kakakku dan teman-teman sekelas, JAUH!

Aku sebenarnya tidak tahu alasan Romo, menerima lamaran itu walaupun pada akhirnya aku tahu. Aku berada diantara mereka untuk bisa mendapatkan alasan utama kenapa Ayah menerima laki-laki itu. Dan akhirnya pembicaran antara kedua orang tua-ku dan kedua orang tua Mas Mahesa menjelaskan yang ternyata selama ini kakekku sudah membuat perjanjian dengan kakek Mas Mahesa untuk menikahkan cucunya. Aku tidak bisa mengelak dan aku harus menurutinya. Walaupun sebenarnya Ibuku tidak pernah setuju tapi apa mau dikata Ibu adalah wanita yang sangat patuh kepada Ayah. Dan akhirnya pada hari itu juga aku ditunangkan dengan Mas Mahesa.

Keesokan harinya aku bercerita kepada Retno, dia hanya menggeleng-gelengkan kepala. Dia terus menyemangatiku, sudah menjadi kebiasaan retno membuat sebuah kata-kata semangat yang selalu membuatku tersenyum. Berita ini pun sampai ke teman-teman sekelasku, mereka bukannya meledekku tapi malah menyemangatiku. Aku bangga mempunyai mereka semua, semua teman-temanku selalu menjagaku. Bahkan ketika aku ditemui oleh Mas Mahesa di sekolah teman-temanku selalu berada di sampingku layaknya body guard.

Kini umurku sudah genap 16 tahun lebih satu bulan. Dua bulan setelah acara lamaran itu berlangsung dan selama itu pula aku selalu dan selalu mencoba untuk mencintai tunanganku ini. Hingga pada hari sabtu Mas Mahesa mengajakku kencan, aku sebenarnya bingung menerima atau tidak. Karena biasanya setiap kali aku ditemui Mas Mahesa aku selalu ditemani banyak temanku. Akhirnya aku menelepon teman-temanku untuk di temani tapi karena mendadak mereka tidak bisa, mau ndak mau ya aku akhirnya harus mau karena tahu sendirilah Ayahku, selalu memaksaku.
Dengan Kaos dan Rok sepanjang lututku sembari membawa tas kecil yang biasa aku isi dengan dompet dan botol air mineral, Aku diajak Mas Mahesa dengan menggunakan mobil kepantai katanya ya untuk mencari udara segar. Dipantai layaknya orang pacaran kami bergandengan tangan, berjalan menyusuri pantai hingga matahari mulai terbenam. Kami pun pulang.

Baru saja berjalan kurang lebih 1 km tiba-tiba duarrrrrrrrrrrrrr..... ban mobil layaknya suara letusan tembakan.

“Ada apa mas?” tanyaku kaget

“Oh ini bannya bocor dek, sudah tenagng saja” katanya, yang kemudian dia keluar melihat ban yang bocor tersebut.

“Dek ini lama, mungkin baru besok kita bisa pulang, bagaimana kalau kita menginap di losmen itu saja?” katanya dari kaca jendela mobil sambil menunjuk losmen yang berada tepat di sampingku. Kenapa juga ada losmen disini?

“Aduh mas, bagaimana bisa, aku tidak bisa mengabari kedua orang tuaku, aku naik angkot atau taksi kalau ada mas” balasku, hand phone pada saat itu langka yang punya.

“Mana ada angkot malam-malam begini apalagi taksi, tenang saja nanti aku yang bicara kepada orang tuamu, kita nginap dulu di losmen” katanya.
Mau tidak mau akhirnya aku menuruti perkataan Mas Mahesa, dia mengajakku ke losmen tersebut. Mas Mahesa masuk menanyakan ke penjaga losmen itu. Losmen itu tampak bersih, layaknya hotel. Kulihat nama losmen tersebut, losmen MELATI. Dari losmen masih bisa aku melihat pantai dimana aku berada tadi.

“Dek....” panggil Mas Mahesa, akupun melangkah ke arahnya.

“Kamarnya tinggal satu, kita satu kamar berdua ya” ucapnya

“Ya ndak bisa to mas, kita itu belum menikah, ndak boleh satu kamar” jawabku sedikit kesal

“Lha mau bagaimana lagi, lha wong kamarnya tinggal satu” balasnya

“Mase, memangnya sudah ndak ada kamar kosong lagi to?” tanyaku kepada penjaga losmen

“Su su sudah tidak ada lagi mbak” jawabnya gugup.

“Itu kunci masih pada nggantung, aku lihat juga pengunjungnya sedikit!” bentakku

“I...i....i...itu sudah a...a...ada yang pesan mbak” jawabnya tebata-bata, gugup.

“Sudahlah dek, ndak papa lha wong kita juga nggak ngapa-ngapain” potong Mas Mahesa, menenangkan aku. Bagaimana bisa seorang wanita dan laki-laki satu kamar?Apa kata orang? Tapi aku percaya kepada Mas Mahesa akan menjagaku.

Ya akhirnya mau ndak mau, aku harus satu kamar dengannya. Tapi dengan syarat dia tidur di bawah sedangkan aku tidur di kasur dan dia menyanggupinya. Kulihat jam dinding di atas kepala penjaga menunjukan pukul 18.00. Karena penat dan lelah aku menuju kamar losmen, kunci kamar kudapatkan dari Mas Mahesa. Kulihat kunci kamar bertuliskan nomor 20. Aku memasuki kamarku, lumayan juga kamarnya bersih dan wangi, aku pun duduk di pinggiran kasur. Tak ku lihat Mas Mahesa masuk kamar kemana dia? sambil menunggunya aku beranjak dan kubuka jendela kamarku. Melihat pantai nan indah di malam hari, menghirup hembusan angin segar pantai. Lama aku menunggu mas Mahesa tak kunjung tiba, jam dinding menunjukan pukul 18.45, perasaan takut ditinggal sendirian pun muncul.

Kleeeeek...... pintu kamar terbuka, kulihat Mas Mahesa masuk dengan sempoyongan kemudian menutup pintu.

“Mas, Mas kenapa?” ucapku sembari melangkah menangkap badannya yang hampir jatuh. Kupapah Mas Mahesa menuju kasur, tercium bau alkohol dari mulutnya. Kududukan Mas Mahesa dipinggir kasur, tubuhnya yang sempoyongan bersandar ke tubuhku.

“Halooooo cantiiiiiik muah muah muuuuuuuuuuuuuuuuuuah” ucap Mas Mahesa seperti orang mengigau sambil memajukan bibirnya ke arahku

“Mas Mabuk? Mas sadar mas” ucapku menyadarkan, kurebahkan tubuh mas mahessa ke tempat tidur, aku beranjak mengambil botol air mineral dari dalam tasku coba untuk aku berikan ke Mas Mahessa.

Tiba-tiba tangan kanan yang kekar menggenggam tangan kiriku, ditariknya tubuhku hingga rebah di tempa tidur. Kemudian.....

Load disqus comments

0 komentar